Strategi Nabi Mengatasi Masalah Anak
BEDA.EU.ORG - SALAH satu problem krusial yang sering dihadapi guru dan orangtua adalah masalah pendidikan peserta atau anak didik. Terlebih, di zaman digital seperti sekarang ini, inovasi dan kreatifitas dalam mendidik siswa atau siswi menjadi keniscayaan jika menginginkan pendidikan yang sukses.
Sekitar 15 abad yang lalu, Rasulullah ï·º . sudah memberikan teladan baik bagi para guru untuk mengatasi problem pendidikan anak-anak didiknya.
Najib Khalid al-‘Amir dalam buku “Tarbiyah Rasulullah” (1996: 32-40) mengungkap strategi beliau dengan cukup lugas dalam mendidik murid.
Strategi Nabi Mengatasi Masalah Anak
Pertama, melalui teguran langsung. Suatu ketika, Umar bin Abi Salamah mengisahkan pengalaman masa kecilnya saat menjadi pembantu di rumah Rasulullah ï·º . Waktu itu, Umar memiliki kebiasaan tidak baik ketika makan, yaitu: mengulurkan tangan ke berbagai penjuru.
Dengan lembut Nabi menegurnya, “Nak! Bacalah basmallah terlebih dahulu! Makanlah dengan tangan kanan dan mulailah dari yang di dekatmu!” (HR. Bukhari, Muslim)
Dari riwayat itu, mengandung beberapa nilai tarbawi atau pendidikan yang patut di teladani, di antaranya:
beliau meluangkan waktu untuk makan bersama anak-anak, sehingga bisa mempererat hubungan batin dengan mereka; sebelum itu menjadi kebiasaan buruk,
beliau menegur dengan teguran yang halus sehingga tak menyakiti sang anak.
Baca juga: Mengenal Fungsi Tombol Remote ADV 160
Selain itu, beliau juga memanggilnya dengan panggilan kasih sayang sehingga Umar bin Salamah merasa nyaman sebelum di beri teguran.
Lebih dari itu, beliau tak sekadar menegur tapi juga mengajarkan adab-adab makan yang benar sehingga bisa di contoh secara langsungsung.
Yang tak kalah penting, diksi yang di pakai dalam menegur anak di pilih dengan sangat tepat.
Nasihat yang demikian mengesankan itu begitu tertanam pada jiwa Umar bin Abi Salamah serta menimbulkan kesan mendalam.
Sampai-sampai, hingga dewasa pun cara makannya persis seperti yang di nasihatkan Rasulullah kepadanya.
Kedua, sindiran. Bila teguran secara langsung tidak efektif, bisa juga dengan menggunakan sindiran.
Saat ada beberapa sahabatnya yang berlebihan ingin mencontoh Rasulullah sehingga melahirkan sikap ekstrim, seperti: shalat malam seperti Nabi dan tak akan tidur, puasa selamanya, tidak akan nikah.
Dalam sebuah forum, beliau menyampaikan sindiran, “Apa keinginan kaum yang menginginkan begini dan begitu? Sesungguhnya aku shalat dan tidur, aku berpuasa dan berbuka, dan aku pun menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku, berarti dia bukan dari golonganku.” (Shahih Jami’ al-Shagir)
Melalui sindiran itu, wibawah anak didiknya bisa terjaga dan tidak merasa rendah diri atau malu di hadapan teman-teman. Di samping itu, fungsi untuk meluruskan dan menegur anak bisa berjalan dengan baik tanpai menyakiti.
Baca juga: Membebaskan Anak dari Label Negatif
Ketiga, celaan. Kadang-kadang di lapangan pendidikan, teguran dan sindiran ketika tak mampu mengatasi problem anak didirk, maka diperlukan cara lain misalkan mencelanya secara proporsional.
Suatu ketika, Rasulullah ï·º . mencela Abu Dzar al-Ghifari, “Wahai Abu Dzar! Apakah engkau telah mempermalukannya dengan menyebut nama ibunya?
Sesungguhnya pada dirimu masih melekat sifat jahiliyah.”
Hal itu di lakukan Nabi agar perilaku buruk (caci-maki)itu tidak menjadi kebiasaan.
Selain itu, agar tidak timbul rasa takabur dan dengki pada diri Abu Dzar yang berefek merasa lebih baik dari orang lain yang di cerca.
Lebih penting dari itu, konflik fisik pun bisa di hindarkan sejak dini antar anak didik.
Keempat, pemutusan hubungan dari jamaah. Jika peneguran secara langsung, sindiran dan celaan belum efektif, maka “pemutusan” (sementara) hubungan dari jamaah bisa di lakukan
Saat Ka’ab bin Malik ra. tidak ikut perang Tabuk, sanksi yang di berikan Rasulullah ï·º. padanya adalah Nabi melarang para sahabat berbicara dengannya sampai 50 malam dan pemutusan hubungan (HR. Bukhari)
Pada peristiwa itu ada nilai pendidikan penting. Orang yang di putus sementara hubungannya, bisa membuatnya sadar akan kesalahannya.
Selain itu, pemutusan hubungan juga menanamkan betapa berartinya jamaah bagi individu.
Lebih dari itu, bisa di jadikan sebagai tolak ukur ke disiplinan anak didik kepada guru atau orangtua.
Perintah Memukul
Kelima, pemukulan. Dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Hakim ada perintah kepada orangtua agar menyuruh anaknya shalat saat berusia 7 tahun.
Ketika sudah berumur 10 tahun tidak shalat, maka diperintahkan ‘memukul’ anak.
Pemukulan di sini bukan membabi buta dan membekas pada anak.
Pemukulan di sini adalah proporsional sekadar untuk mengingatkan.
Namun, pada kenyataannya sekarang, di tengah iklim pendidikan yang terlalu berlebihan menyikapi HAM,
maka tindakan pemukulan oleh orangtua atau guru di anggap sebagai tindakan kriminal.
Akibatnya, ada beberapa guru yang harus meringkuk di jeruji besi akibat hukuman pemukulan yang di lakukan.
Padahal, berkaca pada pendidikan di masa lalu yang melahirkan tokoh-tokoh besar, cara-cara pemukulan dalam batas kewajaran adalah bagian dari metode untuk mendisiplinkan murid.
Menyikapi hukuman pemukulan secara berlebihan hingga menafikannya sama sekali, akan menimbulkan dampak negatif pada mental anak.
Selain cengeng, mereka akan menjadi anak didik yang rapuh secara mental, susah disiplin dan gampang jatuh semangatnya.
Untuk hukuman semacam ini Nabi bahkan pernah bersabda: “Gantunglah cemeti (cambuk) agar keluarganya tahu. Karena yang demikian adalah pelajaran bagi mereka.” Atau dalam hadits lain, “Dan gantunglah cemeti agar keluarganya tahu.” (HR. Thabrani)
Dari kelima cara itu sifatnya bisa fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan bentuk kesalahan yang di lakukan anak.
Pada intinya itu adalah di antara langkah untuk membetulkan dan meluruskan anak yang merupakan salah satu arti dari tarbiyah (pendidikan).
*Mahmud Budi Setiawan
Post a Comment